Autisma merupakan gangguan
perkembangan yang berat pada anak. Gejalanya sudah tampak sebelum anak mencapai
usia tiga tahun. Perkembangan yang terganggu terutama dalam komunikasi,
interaksi, dan perilaku.
Pada usia 2 - 3 tahun, di masa
anak balita lain mulai belajar bicara, anak autis tidak menampakkan tanda-tanda
perkembangan bahasa. Kadangkala ia mengeluarkan suara tanpa arti. Namun
anehnya, sekali-kali ia bisa menirukan kalimat atau nyanyian yang sering
didengar. Tapi bagi dia, kalimat ini tidak ada maknanya. Kalau pun ada
perkembangan bahasa, biasanya ada keanehan dalam kata-katanya. Setiap kalimat
yang diucapkan bernada tanda tanya atau mengulang kalimat yang diucapkan oleh
orang lain (seperti latah). Tata bahasanya kacau, sering mengatakan
"kamu" sedangkan yang dimaksud "saya".
Anak autis juga acapkali
melakukan gerakan aneh yang diulang-ulang. Misalnya duduk sambil
menggoyang-goyangkan badannya secara ritmis, berputar-putar dan
mengepak-ngepakkan lengannya seperti sayap. Ia bisa terpukau pada anggota
tubuhnya sendiri, misalnya jari tangan yang terus menerus digerak-gerakkan dan
diperhatikan. Penyandang juga suka bermain air dan memperhatikan benda yang
berputar, seperti roda sepeda atau kipas angin. Sikapnya sangat cuek. Kadang
melompat-lompat, mengamuk atau menangis tanpa sebab, anak autis sulit dibujuk;
ia bahkan menolak untuk digendong atau dirayu oleh siapapun.
Beruntunglah penderita yang
segera bertemu dengan seorang profesional yang mampu mendiagnosis gangguan
secara cepat dan tepat. Tidak asal mengutarakan diagnosis semu, misalnya
mengatakan, "Anak ini sehat, Bu, hanya bicaranya agak terlambat. Anak
laki-laki memang suka lebih lambat bicaranya."
Bila 10 - 20 tahun lalu jumlah
penyandang autisma hanya 2 - 4 per 10.000 anak, tiga tahun belakangan jumlah
tersebut meningkat menjadi 15 - 20 anak atau 1 per 500 anak. Tahun lalu, di AS
ditemukan 20 - 60 anak, kira-kira 1/200 atau 1/250 anak.
Di Indonesia pendataan belum
pernah dilakukan, namun para profesional yang menangani anak melaporkan,
peningkatan jumlah penyandang autisma amat pesat. Sayang, tidak diimbangi
dengan meningkatnya jumlah ahli yang mendalami bidang autisma, sehingga
acapkali terjadi salah diagnosis.
Tentu saja ini sangat meresahkan.
Penyandang autisma yang tidak tertangani dengan tepat, kemungkinan
"sembuh"-nya akan semakin jauh dan dikhawatirkan mereka akan menjadi
generasi yang hilang.
Sel otak tidak sempurna
Sepuluh tahun lalu penyebab
autisma masih merupakan misteri. Sekarang, berkat alat kedokteran yang semakin
canggih, diperkuat dengan autopsi, ditemukan penyebabnya antara lain gangguan
neurobiologis pada susunan saraf pusat (otak). Biasanya gangguan ini terjadi
dalam tiga bulan pertama masa kehamilan, bila pertumbuhan sel-sel otak di
beberapa tempat tidak sempurna.
Penyebabnya bisa karena virus
(toxoplasmosis, cytomegalo, rubela dan herpes) atau jamur (Candida) yang
ditularkan oleh ibu ke janin. Bisa juga karena selama hamil sang ibu
mengkonsumsi atau menghirup zat yang sangat polutif, yang meracuni janin.
Kekurangan jumlah sel otak ini tidak mungkin diperbaiki dengan cara apa pun.
Namun, ternyata setiap penyandang mempunyai cara berbeda untuk mengatasi
kekurangan tersebut. Sebaliknya ada makanan tertentu yang mempunyai pengaruh
memperberat gejala. Ada pula penderita yang menderita gangguan pencernaan,
metabolisme serta imunodefisiensi dan alergi.
Menurut para peneliti, faktor
genetik juga memegang peranan kuat, dan ini terus diteliti. Pasalnya, manusia
banyak mengalami mutasi genetik, yang bisa karena cara hidup yang semakin
"modern" (penggunaan zat kimia dalam kehidupan sehari-hari, faktor
udara yang semakin terpolusi).
Dengan ditemukannya faktor-faktor
penyebab tadi akan semakin mudah bagi para pakar untuk memberikan terapi yang
lebih tepat sasaran.
Intervensi dini
Apakah autisma dapat disembuhkan?
Pertanyaan ini selalu dilontarkan oleh para orangtua penyandang. Autisma memang
merupakan gangguan neurobiologis yang menetap. Gejalanya tampak pada gangguan
bidang komunikasi, interaksi dan perilaku. Walaupun gangguan neurobiologis
tidak bisa diobati, tapi gejala-gejalanya bisa dihilangkan atau dikurangi,
sampai awam tidak lagi bisa membedakan mana anak non-autis, mana anak autis.
Semakin dini terdiagnosis dan
terintervensi, semakin besar kesempatan untuk "sembuh". Penyandang
autisma dinyatakan sembuh bila gejalanya tidak kentara lagi sehingga ia mampu
hidup dan berbaur secara normal dalam masyarakat luas. Namun gejala yang ada
pada setiap anak sangat bervariasi, dari yang terberat sampai yang teringan.
"Kesembuhan" dipengaruhi oleh berbagai faktor: gejalanya ringan,
kecerdasan cukup (50% lebih penyandang mempunyai kecerdasan kurang), cukup
cepat dalam belajar berbicara (20% penyandang autisma tetap tidak bisa
berbicara sampai dewasa), usia (2 - 5 tahun), dan tentu saja intervensi dini
yang tepat dan intensif.
Tidak jarang seorang penyandang
autisma sangat ringan dengan taraf kecerdasan normal, dapat mengalami
perkembangan yang baik tanpa terapi apa pun. Saat dewasa, ia tidak berbeda
dengan teman-temannya yang tidak autistik.
Intervensi bisa dilakukan dengan
berbagai cara. Yang penting, berusaha merangsang anak secara intensif sedini
mungkin pada usia 2-5 tahun, sehingga ia mampu keluar dari
"dunia"-nya.
Dibantu terapi di rumah
Salah satu metoda intervensi dini
yang banyak diterapkan di Indonesia adalah modifikasi perilaku atau lebih
dikenal sebagai metoda Applied Behavioral Analysis(ABA). Kelebihan metode ini
dibanding metode lain adalah sifatnya yang sangat terstruktur, kurikulumnya
jelas, dan keberhasilannya bisa dinilai secara obyektif.
Penatalaksanaannya dilakukan 4-
8 jam sehari.
Melalui metode ini, anak dilatih
melakukan berbagai macam keterampilan yang berguna bagi hidup bermasyarakat.
Misalnya berkomunikasi, berinteraksi, berbicara, berbahasa, dll. Namun yang pertama-tama
perlu diterapkan adalah latihan kepatuhan. Hal ini sangat penting agar mereka
dapat mengubah perilaku seenaknya sendiri (misalnya memaksakan kehendak)
menjadi perilaku yang lazim dan diterima masyarakat. Maklumlah, bila latihan
ini tidak dijalankan secara konsisten, maka perilaku itu akan sulit diubah.
Bila sudah dewasa nanti anak seperti itu acapkali akan dikatakan kurang
mengenal sopan-santun.
Di Indonesia metode modifikasi
ini lebih dikenal sebagai Metode Lovaas (nama orang yang mengembangkannya) yang
oleh Yayasan Autisma Indonesia (YAI) terus disebarluaskan. Secara berkala YAI
mengadakan pelatihan bagi orang tua penyandang agar mereka bisa melakukan
sendiri terapi di rumah. Namun pelaksanaannya harus benar-benar tepat. Kalau
sampai salah, hasilnya akan mengecewakan sehingga tentu akan merugikan si anak.
Waktunya terbuang percuma, padahal bila dilakukan secara intensif dan konsisten
program terapi ini bisa selesai dalam 1 - 2 tahun.
Masuk kelompok khusus
Biasanya setelah 1 - 2 tahun
menjalani intervensi dini dengan baik, si anak siap untuk masuk ke kelompok
kecil. Bahkan ada yang siap masuk kelompok bermain. Mereka yang belum siap
masuk ke kelompok bermain, bisa diikutsertakan ke kelompok khusus. Di kelompok
ini mereka mendapat kurikulum yang khusus dirancang secara individual. Di sini
anak akan mendapatkan penanganan terpadu, yang melibatkan pelbagai tenaga ahli,
seperti psikiater, psikolog, terapis wicara, terapis okupasi, dan ortopedagog.
Anak dengan kecerdasan normal
yang sudah siap masuk ke sekolah umum pun masih bisa mendapatkan penanganan
khusus bila diperlukan. Di sekolah umum, peran guru sangat penting. Namun dalam
kenyataan, banyak sekolah yang menolak menerima murid penyandang autisma.
Kapan perlu obat
Banyak orangtua takut memberikan obat
pada penderita. Memang benar, penyandang jangan diberi sembarang obat, tapi
obat harus diberikan bila timbul indikasi kuat. Gejala yang sebaiknya
dihilangkan dengan obat: hiperaktivitas yang hebat, menyakiti diri sendiri,
menyakiti orang lain (agresif), merusak(destruktif), dan gangguan tidur.
Tidak ada satu pun obat yang
dibuat khusus untuk menyembuhkan autisme. Lagipula obat-obatan itu kebanyakan
dipakai untuk menghilangkan gejala. Namun, bila ditemukan gangguan pada susunan
saraf pusat, pengobatan bisa lebih terarah. Beberapa jenis obat bahkan
mempunyai efek sangat bagus untuk menimbulkan respons anak terhadap dunia luar.
Dengan pemakaian obat, intervensi dini maupun penatalaksanaan lain akan lebih
cepat berhasil. Bila keberhasilan sudah stabil, obat bisa dihentikan.
Reaksi anak terhadap obat
berbeda-beda, ada anak yang cocok dengan obat A, tapi tidak cocok dengan obat B
atau sebaliknya. Vitamin sekalipun bisa mempunyai efek samping yang tidak
diinginkan. Jadi hendaknya pengobatan selalu di bawah anjuran dokter. Namun
orang tua seyogyanya menanyakan kegunaan setiap obat serta efek samping yang
bisa timbul. Memang benar, kerjasama yang erat antara orang tua dan dokter yang
menangani sangat penting, sebab ini merupakan kunci menuju "kesembuhan".
(dr. Melly Budhiman Sp.Kj., psikiater anak - ketua Yayasan Autisma Indonesia)
dikutip dari www.indomedia.com)
sumber : http://forum.kompas.com/medis/15097-penanganan-dini-bagi-anak-autis.html